Loading [Contrib]/a11y/accessibility-menu.js

Hidup dijerat Visa

Bagikan di

Read this article in English.


Ditahun 2017, aku mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di Microsoft Imagin Cup Final dan terbang ke Seattle. Selagi disana, kami juga menyempatkan mampir ke San Francisco. Ketika mempersiapkan buat perjalanan ini, aku selalu berpikir bahwa ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bisa menginjakan kaki di Amerika. Jadi, jangan sampai ada penyesalan. Kami memastikan untuk mendatangi dan mencoba hal-hal yang mungkin ga akan kami datangi lagi: ke Starbucks pertama, makan di In-N-Out, mengagumi Golden Gate Bridge dan Space Needle.

Waktu itu, sama sekali tidak terpikir bakalan bisa bekerja dan tinggal di negara ini.

Lima tahun kemudian, ketika kesempatan untuk bekerja di Amerika datang, aku sangat senang. Tapi, ga semuanya hidup disini isinya hal-hal yang menyenangkan aja. Satu hal yang aku ingin bagikan disini adalah hidup dengan visa di Amerika artinya hidupku bukan ada ditanganku sepenuhnya.


"Julukan 'land of the free' itu bohong."



Datang ke Amerika dengan visa artinya hidupmu berada ditangan sponspor visa tersebut. Contohnya, jika kamu punya visa pelajar F1, artinya sponspor visamu adalah universitas atau sekolahmu. Jika kamu dikeluarkan dari sekolah, status visa kamu menjadi ga valid. Untuk visa kerja H1, sponspornya adalah perusahaan tempat bekerja.

Disinilah ketimpangan kuasa antara pemberi sponspor dan yang diberi bisa terlihat. Perusahan bisa saja dengan mudah menentukan apakah kamu berhak untuk tinggal lama di Amerika atau tidak. Walaupun ada waktu tenggang untuk mencari kerja baru setelah di PHK (layoff), hidupmu tetap akan tergantung pada perusahaan lain pada akhirnya. Dengan visa, hampir ga ada cara untuk keluar dari roda kapitalisme.

Itulah kenapa banyak orang yang berusaha mendapatkan permanent residence (biasanya disebut Green Card). Dengan Green Card ini, kamu bisa bebas dari perbudakan perusahaan yang menjerat legalitas statusmu dengan pekerjaan. Cara ini telah menjadi “lajur standar menuju imigrasi legal” untuk banyak orang. Hingga akhirnya…

· · ·


Di tahun 2022, aku mulai bekerja di sebuah perusahaan besar di Amerika. COVID sudah menghilang dari pikiran orang-orang, tapi efeknya masih terasa pada finansial negara Amerika Serikat yang membuat tingginya inflasi. Federal Reserve mencoba untuk menurunkan inflasi ini dengan cara menaikkan suku bunga. Kalau kamu baca berita, kamu akan tahu apa yang terjadi selanjutnya: Banyak proyek yang di potong, gelembung-gelembung investasi pecah, dan banyak pemotongan kerja. Perusahaanku sendiri juga ikut melakukan PHK, dan ini yang kedua kali aku terancam PHK.

Layoff (PHK) bukanlah hal yang baru bagiku. Di perusahaan sebelumnya, Traveloka, aku punya pengalaman yang serupa. Waktu itu karena COVID mulai menyebar dan menyebabkan banyak perjalanan dan liburan terganggu. Tapi layoff kali ini terasa berbeda. Aku berada di negara lain, menggunakan visa, dan langkah kehidupanku selanjutkan sangat ditentukan oleh keputusan perusahaan. Taruhannya lebih besar.

Untungnya, aku ga kena layoff pada saat itu. Tapi terjaga dari tidur jam 3 pagi dan mendapatkan email from Mark Zuckerberg tentang layoff bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Moral teman-teman kantorku saat itu sangatlah rendah, akupun juga. Dengan pemotongan sebesar 13% (atau 11 ribu pekerjaan), mau perusahaan ngomong apapun, ga akan bisa membuat kami lebih tenang.

Setalah itupun, ga perlu waktu lama buat perusahaan untuk melakukan ronde selanjutnya. Rasanya seperti di rumah jagal, kami harus hidup dengan ketidakpastian menunggu giliran.

Pada April 2023, ronde layoff selanjutnya dilakukan ke tim engineering, memotong sekitar 3 ribu posisi. Layoff berlangsung terus secara diam-diam sepanjang tahun, menarget organisasi yang berbeda-beda, dan seringnya tanpa diketahui oleh karyawan hingga diberitakan oleh media massa.

· · ·


Akhirnya, di Januari 2025, kembali diumumkan secara besar akan diadakan layoff. Pengumuman ini sangat cukup mengejutkan. Kali ini, layoff ditentukan oleh bagaiman performa pekerjaan kami. Yang disayangkan adalah pengumuman dilakukan ketika proses self-review untuk performance sudah selesai. Sepertinya waktunya sangat disengaja. Kenapa ga mereka ngumuminnya sebelum kami selesai self-review ketika kami punya kesempatan untuk mengubahnya?

  “Ah, paling cuma layoff kaya yang dulu-dulu lagi,” Aku berkata pada diriku sendiri.

Tapi, beberapa hari kemudan, sebuah email datang ke kotak masuk.

  “We will not be able to move forward with your current PERM matter due to a recent layoff.”

Hah…?

Hidup di negara baru dengan kultur yang berbeda sudahlah cukup berat. Ditambah lagi beban untuk menjaga agar visa tetap valid, membuat semakin menambah stress. Sayangnya, semua ini memang didesain demikian. Visaku bergantung pada perusahaan. Asuransi kesehatanku terikat perusahaan; tanpa mereka, aku harus bayar premi yang sangat mahal. Sewa apartemen membutuhkan slip gaji dari perusahaan. Bahkan kebebasanku untuk hidup disini, kesempatan untuk bisa menjadi permanent residence (salah satunya harus dengan mendapatkan PERM di atas), juga tergantung pada belas kasihan perusahaan. Email di atas menjadi tamparan yang membuatku menyadari sesuatu:

Julukan “land of the free” itu bohong.

Tidak ada yang bebas, dan tidak ada yang gratis disini.

Hidupku dipegang oleh Perusahaan.

· · ·


Layoff hari ini membangunkanku.

Karena layoff yang tidak pernah berakhir ini, rasanya selama tiga tahun kebelakang, hidupku hanya berkutat pada perkerjaan. Lima hari seminggu didedikasikan untuk kerja: bangun pagi, ke gym, kerja selama delapan jam, balik ke rumah sudah sangat capek tanpa energi untuk melakukan hal lain, dan ulangi lagi. Weekend jadi digunakan hanya untuk istirahat dan doom-scrolling. Pekerjaan menyita waktuku secara tidak sehat.

Dan dedikasi itu jadi ga baik untuk kesehatan mental dan pengembangan diri sendiri.

Hal-hal di atas membuka jelas bahwa perusahaan mempunya kontrol yang terlalu besar akan stabilitas dan identitas diriku. Hal ini yang ingin ku ubah. Selama tiga tahun ke belakang, aku salah menggunakan waktuku. Aku tidak seharusnya mendedikasikan hidupku ke perusahaan manapun.


Ini hidupku.

Aku kehilangan jalan ceritaku sendiri. Aku tidak tahu apa hobiku lagi. Aku tidak tahu dimana sirkel pertemananku lagi. Aku tidak menikmati lagi hal-hal yang kusuka, seperti main games, ngoding untuk bersenang-senang, atau jalan-jalan backpacking ke tempat baru. Waktunya menyusun ulang strategi.

Bagaimana ku bisa mendapatkan kembali kendali atas hidupku?

Itulah pertanyaan yang kini inginku jawab.


__

San Mateo, 10 Februari 2025.


Bagikan di


Kolom Diskusi

Sedang memuat...